Alih fungsi pertanian yang masif di Bali mendapat tanggapan dari Founder Cau Chocolates yang juga Wakil Ketua DPD HKTI Bali Bidang Inovasi Teknologi, Wayan Alit Arthawiguna.
Selama menjadi penyuluh petani dan turun ke lapangan, Alit mengatakan kebutuhan petani sebenarnya sangat sederhana. Bagaimana produk yang dihasilkan dapat harga layak, bisa dapat income serta bayarannya tepat waktu. Oleh karena itu, baginya dukungan pengambil kebijakan terhadap pertanian sangat dibutuhkan.
“Kolaborasi perusahaan dengan sektor pertanian juga diperlukan. Seperti saya di Cau Chocolates. Kami olah biji kakao menjadi coklat siap konsumsi. Kakao juga menjadi masalah bagi petani, ketika berproduksi harga hampir tidak ada. Faktornya kualitas rendah, termasuk rantai penjualan yang panjang. Sehingga bagaimana sekarang memutus rantai dari hasil produksi ke user,” katanya Sabtu, 23 Oktober 2021.
Ia juga mengharapkan, penyuluh pertanian tak hanya bicara tentang teori, akan tetapi dibekali kemampuan enterpreunership. Setidaknya dengan demikian bisa menghubungkan perusahaan dengan petani. Terkait langkah untuk menekan laju alih fungsi lahan, Alit mengatakan harus diketahui apa penyebab alih fungsi lahan tersebut. Ia mencontohkan rencana proyek jalan tol Denpasar – Gilimanuk yang akan membuat alih fungsi lahan besar-besaran.
“Kenapa tidak membuat konsep baru, bikin sebuah model bagaimana pemilik lahanm yang kena gusur juga menjadi pemilik saham jalan tol tersebut. Bisa bikin korporasi, bangun perusahaan yang menjadi mitra pemerintah, sehingga itu bisa menekan alih fungsi lahan,” katanya.
“Jadi mereka tidak hanya mendapat nilai ganti rugi lahannya, tapi juga punya modal dasar mereka dan keluarganya selama jalan tol tersebut menghasilkan,” imbuhnya.
Faktor lain juga terkait alih fungsi lahan untuk pembangunan hotel dan villa. Semestinya tak perlu melakukan pembangunan hotel dan villa besar-besaran, akan tetapi bisa memanfaatkan rumah penduduk sebagai fasilitas pariwisata.
“Kita bangun semacam home stay dengan memanfaatkan rumah penduduk, sehingga tidak akan menekan alih fungsi lahan,” katanya.
Alit juga menambahkan, selama ini sektor pertanian hanya bicara tentang hasil barang jadi produksi, misal 1 hektar hasilkan berapa ton. Padahal ada jasa lingkungan yang bisa dijual dan tak pernah habis.
“Bagaimana view subak bisa kita jual tanpa alih fungsi lahan. Sektor jasa lingkungan ini juga termasuk bagaimana linkungan menghasilkan oksigen. Karena kita hanya bicara satu hektar hasilkan 6 ton, itu saja yang dihitung. Petani tidak pernah menerima bayaran dari jasa lingkungan ini,” katanya.
Ke depan dalam sektor pertanian juga harus membicarakan carbon trade, dimana orang-orang yang melestarikan alam untuk penghasil oksigen mendapat value dan yang merusak lingkungan harus membayar.
Selanjutnya, perlu juga dipikirkan adanya kluster pertanian, seperti dirinya yang membuat kluster coklat. Ke depan Bali bisa memiliki klaster pisang, kluster durian untuk menarik turis datang ke sana.
“Kita bicara di daerah tropis, apapun bisa dikembangkan dengan klaster ini. Ke depan buat klaster pisang, ada home industri pisang dan dimanfaatkan untuk tourism. Ini akan bisa mengurangi alih fungsi lahan,” katanya. (*)
Sumber: Tribun Bali